Agus Pambagio - detikNews
Jakarta - Hari Minggu pagi
lalu saya memesan taksi via telpon untuk mengantar saya dari rumah ke
bandara Soekarno-Hatta pada pukul 07.00 pagi. Pengemudi yang bernama
Pak Berlian bercerita bahwa semenjak Pemerintah menurunkan harga BBM
bersubsidi (Premiun dan Solar) beberapa kali dan terakhir pada tanggal
15 Januari 2009, menjadi Rp 4.500/liter, jalanan di Jakarta menjadi
semakin macet dan penumpang sepi. Bagi Pak Berlian, penurunan harga
BBM bersubsidi tidak membuat dia senang tetapi pusing. Mengapa bisa
demikian ?
Pertama setoran tidak turun meskipun harga premium
turun, jadi bebannya sebagai pengemudi taksi tidak berkurang. Kedua
penumpang sepi karena yang semula menjadi pelanggannya kini tidak lagi
menggunakan taksinya tetapi kembali menggunakan kendaraan pribadi
setelah harga Premiun turun menjadi Rp 4.500/liter. Ketiga jalanan
menjadi lebih macet karena harga BBM murah masyarakat kembali
menggunakan mobil pribadi untuk beraktivitas. Jadi kebijakan Gubernur
DKI tentang pengaturan jam sekolah dan jam kantor untuk mengurangi
kemacetan menjadi tidak jelas dan kurang bermanfaat. Jalan raya di DKI
tetap macet….cet….cet dan akan bertambah macet jika turun hujan.
Lalu
apa untungnya untuk masyarakat dengan turunnya harga premium dan solar
? Harga komoditas pokok, seperti beras, gula, minyak goreng dll juga
tidak turun karena tidak terkait langsung dengan BBM, kecuali ongkos
angkut. Ongkos angkut tidak ikut turun karena pungli di jalan raya juga
tidak turun (setahun biaya pungli mencapai Rp 18 - 40 triliun/tahun).
Harga suku cadang juga tidak turun karena bea masuk dan biaya produksi
tidak turun. Jadi apa gunanya harga BBM turun namun tidak berdampak
langsung bagi masyarakat ? Ingat dengan turunnya harga BBM, maka
penerimaan Negara dari ekspor sektor migas juga merosot.
Antara Tebar Pesona dan Manfaat
Pemilu
2009 sudah di ambang pintu. Keputusan Presiden SBY memberlakukan harga
baru untuk solar dan premium tidak berdampak banyak pada ekonomi
masyarakat selain dampak psikologi sesaat alias tebar pesona. Mengapa
demikian ?
Pertama, turunnya harga BBM di Indonesia karena
memang harga minyak mentah dunia turun, jadi bukan prestasi Pemerintah.
Kedua, karena dengan turunnya harga BBM hampir tidak mempunyai dampak
positif bagi rakyat kecuali pemilik kendaraan, karena harga komoditi
lain tidak turun. Dan ujung-ujungnya jalanan bertambah macet.
Di
sektor transportasi tanpa pemaksaan 'khusus' dari Pemerintah Daerah,
tarif angkutan kota tidak mungkin akan turun mengingat komponen biaya
BBM dalam sistem transportasi hanya sekitar 20% dari total biaya.
Komponen terbesar adalah biaya suku cadang, biaya awak dan .... biaya
pungli. Jadi cukup sulit bagi pemilik kendaraan angkutan umum untuk
menurunkan biaya transportasi ketika harga BBM turun, mengingat tarif
angkutan darat saat ini belum mencapai keekonomiannya. Namun jika
dipaksa oleh regulator, tentu para pemilik angkutan umum akan
menurunkan juga tarifnya.
Kebijakan Pemerintah SBY untuk
menurunkan harga BBM tentunya secara politik akan mendapatkan apresiasi
dari masyarakat. Pertanyaannya apakah memang benar penurunan harga BBM
berdampak positif langsung bagi masyarakat ? Jawabannya adalah belum
tentu! Buktinya meskipun harga BBM turun tidak diikuti oleh turunnya
harga komoditas lainnya. Bahkan sebagian harga komoditas naik. Jadi
kebijakan ini lebih pada kebijakan tebar pesona menjelang Pemilu saja,
belum terasa manfaatnya bagi publik.
Dampak Penurunan Harga BBM Bersubsidi
Jadi
keputusan Presiden untuk menurunkan harga BBM tentunya hanya disambut
hangat oleh pemilik kendaraan pribadi tetapi tidak untuk sektor-sektor
industri, kecuali ada campur tangan Pemerintah, seperti penetapan tarif
angkutan umum dan penurunan harga BBM industri pasca diturunkannya
harga BBM pada tanggal 15 Januari 2009.
Untuk publik tidak
terasa dampak penurunan harga BBM bersubsidi karena pengaruh pada
komoditi lain minim. Yang ada, publik menjadi lebih sengsara karena
jalanan bertambah macet. Industri juga belum bergerak karena BBM untuk
industri tidak turun, dsb. Kebijakan Pemda DKI tentang pengaturan jam
sekolah dan pegawai swasta juga semakin tidak berpengaruh terhadap
kepadatan di wilayah DKI Jakarta. Yang pada akhirnya akan membuat
belanja BBM oleh rakyat juga meningkat.
Dampak penurunan harga
BBM bersubsidi terhadap harga-harga kebutuhan pokok, biaya transportasi
dan harga-harga barang dan jasa lainnya juga belum secara signifikan
dirasakan oleh masyarakat. Di sisi lain pengaruh penurunan harga BBM
terhadap APBN 2009 juga kurang menggembirakan karena masih memunculkan
angka subsidi untuk premium sebesar Rp 9,4 triliun dan solar sebesar
Rp 13 triliun.
Kemacetan di jalan sekitar Jabodetabek, khususnya
DKI Jakarta saat ini semakin parah karena pengguna kendaraan pribadi
kembali meningkat. Mereka yang tadinya dalam beraktivitas telah
menggunakan angkutan umum: seperti taksi, busway, sepeda motor kembali
menggunakan mobil pribadi, karena tarif taksi dan Busway belum turun
paska penurunan harga BBM bersubsidi.
Akhir kata turunnya harga
BBM sepertinya lebih bersifat politis belaka untuk menghadapi Pemilu
2009 bukan untuk menurunkan biaya-biaya lain yang menjadi beban publik,
termasuk biaya transportasi umum dan biaya-biaya pokok kebutuhan hidup
lainnya.
Jakarta - Hari Minggu pagi
lalu saya memesan taksi via telpon untuk mengantar saya dari rumah ke
bandara Soekarno-Hatta pada pukul 07.00 pagi. Pengemudi yang bernama
Pak Berlian bercerita bahwa semenjak Pemerintah menurunkan harga BBM
bersubsidi (Premiun dan Solar) beberapa kali dan terakhir pada tanggal
15 Januari 2009, menjadi Rp 4.500/liter, jalanan di Jakarta menjadi
semakin macet dan penumpang sepi. Bagi Pak Berlian, penurunan harga
BBM bersubsidi tidak membuat dia senang tetapi pusing. Mengapa bisa
demikian ?
Pertama setoran tidak turun meskipun harga premium
turun, jadi bebannya sebagai pengemudi taksi tidak berkurang. Kedua
penumpang sepi karena yang semula menjadi pelanggannya kini tidak lagi
menggunakan taksinya tetapi kembali menggunakan kendaraan pribadi
setelah harga Premiun turun menjadi Rp 4.500/liter. Ketiga jalanan
menjadi lebih macet karena harga BBM murah masyarakat kembali
menggunakan mobil pribadi untuk beraktivitas. Jadi kebijakan Gubernur
DKI tentang pengaturan jam sekolah dan jam kantor untuk mengurangi
kemacetan menjadi tidak jelas dan kurang bermanfaat. Jalan raya di DKI
tetap macet….cet….cet dan akan bertambah macet jika turun hujan.
Lalu
apa untungnya untuk masyarakat dengan turunnya harga premium dan solar
? Harga komoditas pokok, seperti beras, gula, minyak goreng dll juga
tidak turun karena tidak terkait langsung dengan BBM, kecuali ongkos
angkut. Ongkos angkut tidak ikut turun karena pungli di jalan raya juga
tidak turun (setahun biaya pungli mencapai Rp 18 - 40 triliun/tahun).
Harga suku cadang juga tidak turun karena bea masuk dan biaya produksi
tidak turun. Jadi apa gunanya harga BBM turun namun tidak berdampak
langsung bagi masyarakat ? Ingat dengan turunnya harga BBM, maka
penerimaan Negara dari ekspor sektor migas juga merosot.
Antara Tebar Pesona dan Manfaat
Pemilu
2009 sudah di ambang pintu. Keputusan Presiden SBY memberlakukan harga
baru untuk solar dan premium tidak berdampak banyak pada ekonomi
masyarakat selain dampak psikologi sesaat alias tebar pesona. Mengapa
demikian ?
Pertama, turunnya harga BBM di Indonesia karena
memang harga minyak mentah dunia turun, jadi bukan prestasi Pemerintah.
Kedua, karena dengan turunnya harga BBM hampir tidak mempunyai dampak
positif bagi rakyat kecuali pemilik kendaraan, karena harga komoditi
lain tidak turun. Dan ujung-ujungnya jalanan bertambah macet.
Di
sektor transportasi tanpa pemaksaan 'khusus' dari Pemerintah Daerah,
tarif angkutan kota tidak mungkin akan turun mengingat komponen biaya
BBM dalam sistem transportasi hanya sekitar 20% dari total biaya.
Komponen terbesar adalah biaya suku cadang, biaya awak dan .... biaya
pungli. Jadi cukup sulit bagi pemilik kendaraan angkutan umum untuk
menurunkan biaya transportasi ketika harga BBM turun, mengingat tarif
angkutan darat saat ini belum mencapai keekonomiannya. Namun jika
dipaksa oleh regulator, tentu para pemilik angkutan umum akan
menurunkan juga tarifnya.
Kebijakan Pemerintah SBY untuk
menurunkan harga BBM tentunya secara politik akan mendapatkan apresiasi
dari masyarakat. Pertanyaannya apakah memang benar penurunan harga BBM
berdampak positif langsung bagi masyarakat ? Jawabannya adalah belum
tentu! Buktinya meskipun harga BBM turun tidak diikuti oleh turunnya
harga komoditas lainnya. Bahkan sebagian harga komoditas naik. Jadi
kebijakan ini lebih pada kebijakan tebar pesona menjelang Pemilu saja,
belum terasa manfaatnya bagi publik.
Dampak Penurunan Harga BBM Bersubsidi
Jadi
keputusan Presiden untuk menurunkan harga BBM tentunya hanya disambut
hangat oleh pemilik kendaraan pribadi tetapi tidak untuk sektor-sektor
industri, kecuali ada campur tangan Pemerintah, seperti penetapan tarif
angkutan umum dan penurunan harga BBM industri pasca diturunkannya
harga BBM pada tanggal 15 Januari 2009.
Untuk publik tidak
terasa dampak penurunan harga BBM bersubsidi karena pengaruh pada
komoditi lain minim. Yang ada, publik menjadi lebih sengsara karena
jalanan bertambah macet. Industri juga belum bergerak karena BBM untuk
industri tidak turun, dsb. Kebijakan Pemda DKI tentang pengaturan jam
sekolah dan pegawai swasta juga semakin tidak berpengaruh terhadap
kepadatan di wilayah DKI Jakarta. Yang pada akhirnya akan membuat
belanja BBM oleh rakyat juga meningkat.
Dampak penurunan harga
BBM bersubsidi terhadap harga-harga kebutuhan pokok, biaya transportasi
dan harga-harga barang dan jasa lainnya juga belum secara signifikan
dirasakan oleh masyarakat. Di sisi lain pengaruh penurunan harga BBM
terhadap APBN 2009 juga kurang menggembirakan karena masih memunculkan
angka subsidi untuk premium sebesar Rp 9,4 triliun dan solar sebesar
Rp 13 triliun.
Kemacetan di jalan sekitar Jabodetabek, khususnya
DKI Jakarta saat ini semakin parah karena pengguna kendaraan pribadi
kembali meningkat. Mereka yang tadinya dalam beraktivitas telah
menggunakan angkutan umum: seperti taksi, busway, sepeda motor kembali
menggunakan mobil pribadi, karena tarif taksi dan Busway belum turun
paska penurunan harga BBM bersubsidi.
Akhir kata turunnya harga
BBM sepertinya lebih bersifat politis belaka untuk menghadapi Pemilu
2009 bukan untuk menurunkan biaya-biaya lain yang menjadi beban publik,
termasuk biaya transportasi umum dan biaya-biaya pokok kebutuhan hidup
lainnya.